TUGAS KELOMPOK V
LINGUISTIK MIKRO DAN MAKRO
MORFOLOGI
Dosen Pengampu:
Dr. DWIYANI RATNA DEWI, M.Pd.
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa itu
terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara teratur. Bahasa itu bukanlah
sejumlah unsur yang terkumpul secara acak atau tidak beraturan. Bahasa itu
sistematis. Di samping itu, dapat pula dinyatakan bahwa bahasa terdiri dari
subsistem-subsistem, artinya bahasa bukanlah sistem tunggal. Bahasa terdiri
dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem gramatikal, dan
subsistem leksikal. Agak berbeda dengan subsistem yang lain, subsistem bahasa
tertata secara hirearkis. Jenjang subsistem ini dalam linguistik dikenal dengan
nama tataran linguistik atau tataran bahasa. Jika diurutkan dari tataran yanng
terendah sampai tataran yang tertinggi, dalam hal ini yang menyangkut ketiga
subsistem bahasa di atas adalah tataran fonem, morfem, frase, klausa, kalimat,
dan wacana. Tataran fonem masuk dalam bidang kajian fonologi, tataran morfem
dan kata masuk dalam tataran kajian morfologi; tataran frasa, klausa, kalimat,
dan wacana merupakan tataran tertinggi, dikaji oleh bidang sintaksis. Dalam
morfologi, kata menjadi satuan terbesar, sedangkan dalam sintaksis menjadi
satuan terkecil. Dalam kajian morfologi, kata itu dikaji struktur dan proses
pembentukannya, sedangkan dalam sintaksis dikaji sebagai unsur pembentuk satuan
sintaksis yang lebih besar.
Linguistik
dari segi telaahnya dapat dibagi atas dua jenis, yaitu linguistik mikro dan
linguistik makro. Linguistik mikro dipahami sebagai linguistik yang sifat
telaahnya lebih sempit. Artinya, bersifat internal, hanya melihat bahasa
sebagai bahasa. Linguistik makro bersifat luas, sifat telaahnya ekternal.
Linguistik mengkaji kegiatan bahasa pada bidang-bidang lain, misalnya ekonomi
dan sejarah. Bahasa digunakan sebagai alat untuk melihat bahasa dari sudut
pandangan dari luar bahasa.
Bahasa dapat
dilihat secara deskriptif, historis komparatif, kontrastif, sinkronis, dan
diakronis. Linguistik deskriptif melihat bahasa yang masih hidup apa adanya.
Linguistik komparatif membandingkan dua bahasa atau lebih pada periode berbeda.
Linguistik kontrastif membandingkan bahasa-bahasa pada periode tertentu atau
sezaman. Dalam kajian ini dicari persamaan dan perbedaan dalam bidang struktur:
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Linguistik sinkronis
mempersoalkan bahasa pada massa tertentu. Dalam kajian ini kita tidak
membandingkan dengan bahasa lain dan periode lain. Dengan demikian, kajian
linguistik ini bersifat mendatar atau horizontal.
Linguistik
dapat pula berhubungan dengan ilmu lain. Ilmu tersebut antara lain adalah
psikologi, sosiologi, dan antropologi. Ahli bahasa dapat memanfaatkan psikologi
untuk menganalisis perolehan bahasa dan akibat gangguan psikologi. Perhubungan
ini melahirkan psikolinguistik. Hubungan dengan sosiologi melahirkan
sosiolinguistik. Subdisiplin ini dikaji hubungan bahasa dengan pembicara,
bahasa apa atau variasi bahasa, apa yang dibicarakan, kepada siapa, dan kapan
terjadi pembicaraan. Dengan kata lain, sosiolinguistik menganalisis hubungan
antara aspek sosial dengan kegiatan berbahasa. Pemanfaatan antropologi
menghasilkan anropolinguistik atau etnolinguistik. Subdisiplin ini mempelajari
hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini akan diuraikan apa yang disebut
dengan linguistik makro dan linguistik mikro secara umum beserta kajian
ilmiahnya.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan linguistik mikro?
2. Bagaimana
penerapan linguistik mikro dalam kajian ilmiah?
C. Kajian Teori
Sebelum membicarakan
pembidangan linguistik, lebih dulu dibicarakan pembagian ilmu pengetahuan
sehingga kita memperoleh gambaran dimana letaknya linguistik. Salah satu
pendapat mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan itu terbagi atas tiga bidang
besar; (1) Ilmu pengetahuan alam (natura
science), termasuk di dalamnya ilmu kimia, biologi, botani, geologi,
astronomi; (2) Ilmu pengetahuan sosial-budaya (social science), termasuk ilmu
pengetahuan kemanusiaan, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan budaya; (3) Ilmu
pengetahuan humaniora termasuk didalamnya logika, matematika, bahasa, dan seni
Dalam pembagian seperti itu,
linguistik termasuk salah satu ilmu pengetahuan sosial budaya (inggris humanities,
Jerman: Geisteswissenschaften). Perlu dijelaskan bahwa ilmu kemanusiaan
pada hakikatnya tidak dapat diterima karena fenomena sosial tergantung
sepenuhnya dari ciri-ciri manusia, sebaliknya ilmu tentang manusia tidak harus
bersifat sosial) Jean Piaget, ahli psikologi dan pemikir ilmu pengetahuan swiss
membagi ilmu pengetahuan sosial atas empat cabang, yaitu; 1) ilmu-ilmu
nomotetik; 2) ilmu-ilmu sejarah; 3) ilmu-ilmu hukum; 4) ilmu-ilmu filsafat.
Linguistik menurut pembagian ini termasuk ilmu-ilmu nomotetik, yaitu ilmu yang
berusaha mencari kaidah-kaidah mempergunakan metode eksperimental dan berusaha
untuk memusatkan perhatian pada bidang yang terbatas. Termasuk pula sebagai
ilmu nomotetik itu antara lain: psikologi, sosiologi, ekonomi. Jean peaget
mengatakan bahwa beberapa aspek bahasa dapat ditinjau dari pendekatan historis
dan adapula beberapa aspek bahasa yang dapat didekati secara filosofis.
Linguistik merupakan salah satu jenis dari ilmu sosial dan kemanusiaan dan
kedudukannya sebagai ilmu yang otonom tidak perlu diragukan lagi karena
linguistik menyelidiki bahasa sebagai data utama. tambahan pula linguistik
sudah mengembangkan seperangkat prosedur yang sudah dianggap benar standar.
Pada dasarnya, linguistik
terdiri atas dua bidang besar, yaitu; (1) Mikrolinguistik, yaitu bidang
linguistik yang mempelajari bahasa dari dalam dengan kata lain mempelajari
struktur bahasa itu sendiri; (2) Makrolinguistik, yaitu bidang linguistik yang
mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa,
termasuk di dalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan.
Ditinjau dari sudut tujuan,
linguistik dapat dibagi atas dua bidang, yaitu linguistic teoritis dan terapan,
yakni;
(1) Linguistik teoritis, yaitu
bidang linguistik yang mengkaji dan mengupas bahasa untuk mendapatkan
kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa. Linguistik teoritis ada ada yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Linguistik yang bersifat umum
biasanya disebut linguistik umum yang berusaha memahami ciri-ciri umum dari
berbagai bahasa. Linguistik teoritis yang khusus berusaha menyelidiki ciri-ciri
khusus dalam bahasa tertentu saja. Linguistik teoritis mencakup: linguistik
deskriptif, linguistik historis komparatif. Pembagian ini dirinci satu persatu
sebagi berikut: a) linguistik teoritis adalah cabang llinguistik yang
memusatkan perhatian pada teori umum dan metode-metode umum dalam penyelidikan
bahasa; b) linguistik deskriptif disebut juga linguistik sinkronis adalah
bidang linguistik yang menyelidiki sistem bahasa pada waktu tertentu saja.
Misalnya: bahasa Indonesia dewasa ini, bahasa Inggris yang dipakai oleh
shakepeare, dan sebagainya tanpa memperhatikan perkembangannya dari waktu ke
waktu. Cabang ini terbagi atas fonologi
deskriptif, morfologi deskriptif, sintaksis deskriptif, leksikologi deskriptif.
Fonologi meneliti tentang
ciri-ciri bunyi dan fungsi bunyi. Morfologi menyelidiki tentang kata, unsur,
dan proses pembentukannya, sintaksis menyelidiki satuan antara satuan-satuan
itu. Morfologi dan sintaksis termasuk dalam tataran tata bahasa atau gramatika.
Leksikologi menyangkut perbendaharaan kata atau leksikon; c) linguistik
historis komparatif (diakronis) adalah linguistik yang mempelajari dan
menyelidiki perkembangan bahasa dari satu masa ke masa lain, serta menyelidiki
perbandingan satu bahsa dengan bahasa lain untuk menemukan bahasa purba atau
bahasa proto sebagai bahasa induk bersama. LHK terbagi pula atas bidang (1)
fonologi), (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) leksikologi historis komparatif.
Dinyatakan pula bahwa bahasa mempunyai aspek makna atau aspek semantis.
Penyelidikan tentang aspek ini baik yang bersifat teoritis umum maupun yang
bersifat deskriptif dan bersifat historis komparatif, disebut semantik. Bidang
ini sering disebut semantik linguistik, untuk membedakannya dengan
semantik filosofis, yakni cabang ilmu
filsafat yang juga menyelidiki makna.
(2) Linguistik Terapan (appllied
linguistics) mencakup bidang: pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikologi,
fonetik terapan, sosiolinguistik terapan, pembinaan bahasa internasional,
pembinaan bahasa khusus, linguistik medis, mekanolinguistik. Penjelasanya
sebagi berikut:
a. pengajaran bahasa mencakup metode-metode pengajaran bahasa, ucapan
bunyi-bunyi dengan pelajaran bahasa, strategi, model, dan cara-cara pengajaran
bahasa.
b. Penerjemahan, mencakup metode dan tehnik pengalihan amanat dari satu bahasa
ke bahasa lain.
c. Leksikografi, mencakup metode dan tehnik penyusunan kamus.
d. Fonetik terapan, mencakup metode dan tehnik pengucapan bunyi-bunyi dengan
tepat, misalnya untuk melatih orang yang gagap, untuk melatih pemain drama, dan
sebagainya.
e. Sosiolinguistik terapan, mencakup pemanfaatan wawasan sosiolinguistik untuk
keperluan praktis, seperti perencanaan bahasa, pembinaan bahasa, pemberantasan
buta aksara, dan sebagainya.
f. Pembinaan bahasa Internasional, mencakup usaha untuk menciptakan komunikasi
dan saling pengertian internasional dengan menyusun bahasa buatan seperti
bahasa esperanto.
g. Pembinaan bahasa khusus, mencakup penyusunan istilah dan daya bahasa dalam
bidang-bidang khusus, antara lain dalam militer, dalam dunia penerbangan, dalam
dunia pelayaran.
h. Linguistik medis, membantu bidang patologi dalam hal penyembuhan cacat
bahasa.
i. Grafologi, kajian linguistik tentang tulisan-tulisan.
j. Mekanolinguistik, mencakup penggunaan linguistik dalam
bidang komputer dan usaha untuk membuat mesin penerjemah, usaha pemanfaatan
komputer dalam penyelidikan bahasa, misalnya dalam penyusunan konkordansi
teks-teks, dalam perhitungan frekwensi kata-kata untuk perkamusan dan pengajran
bahasa. Bidang ini disebut juga linguistik komputasi.
Kajian linguistik terapan
merupakan salah satu bagian dari kajian linguistik interdisipliner. Kajian
interdisipliner yang antara lain psikolinguistik, sosiolinguistik,
etnolinguistik. Secara singkat penjelasannya sebagai berikut: (1) Filsafat
bahasa adalah kajian yang mengupas kodrat dan kedudukan bahasa manusia dalam
hubungannya dengan filsafat dan peranan melahirkan pemikiran filsafat; (2)
Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan
perilaku serta akal budi manusia atau ilmu interdisipliner linguistik dengan
psikologi; (3) Etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki
hubungan antara bahasa dan masyrakat pedesaan atau masyarakat yang belum
mempunyai tulisan. Bidang ini disebut juga linguistik antropologi.
Berdasarkan hubungan dengan
faktor di luar bahasa objek kajiannya dibedakan adanya linguistik mikro dan
linguistik makro Linguistik mikro mengarahkan kajian pada struktur internal
atau struktur bahasa tertentu atau subsistem bahasa tertentu, maka dalam
linguistik mikro terdapat pembidangan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
dan leksikologi. Ada juga yang menggabungkan morfologi dengan sintaksis menjadi
morfosintaksis, dan menggabungkan morfologi dengan semantik dan leksikologi
menjadi leksikosemantik. Namun, dalam makalah ini akan membahas mengenai
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan sejarah aliran
linguistik. Kemudian, dalam kajian mikrolinguistiknya, yaitu sosiolinguistik,
psikolinguistik, antropolinguistik, pragmatik, dan neurolinguistik.
1) Fonologi
Fonologi menyelidiki ciri-ciri
bunyi ujar, cara terjadinya dan fungsinya dalam sistem kebahasaan secara
keseluruhan. Fonologi dapat dipelajari dengan dua sudut pandang. Pertama, bunyi
ujar dipandang sebagai media bahasa semata tak ubahnya seperti benda atau zat.
Dengan demikian, bunyi dianggap sebagai bahan mentah , bagai bahan mentah,
bagaikan batu, semen sebagai bagian dari bahan mentah bangunan rumah. Fonologi
yang memandang bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik. Kedua, bunyi ujar
dipandang sebagai sistem bahasa. Bunyi ujar merupakan bagian dari struktur kata
dan sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi
ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa, lazim disebut fonemik (Muslich,
2008: 1-2).
2) Morfologi
Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang
mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk
kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi
perubahan-perubahan bentuk kata iti, baik fungsi gramatik maupun fungsi
semantik (Ramlan, 2009: 21).
Morfologi disebut juga ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata.
Verhaar (1984:52) berpendapat bahwa morfologi adalah bidang linguistik yang
mempelajari susunan bagian kata secara gramatikal. Begitu pula Kridalaksana
(1984:129) yang mengemukakan bahwa morfologi, yaitu (1) bidang linguistik yang
mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa
yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yaitu morfem.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfologi
adalah bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara morfem yang satu
dengan morfem yang lain untuk membentuk sebuah kata. Morfem adalah bentuk
bahasa yang terkecil yang tidak dapat lagi dibagi menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil, misalnya, kata putus jika dibagi menjadi pu dan tus,
bagian-bagian itu tidak dapat lagi disebut morfem karena tidak mempunyai makna,
baik makna leksikal ataupun makna gramatikal. Demikian juga me- dan -kan
tidak dapat kita bagi menjadi bagian yang lebih kecil (Badudu,1985:66).
Jadi, morfem adalah satuan bahasa yang paling kecil yang tidak dapat dibagi
lagi dan mempunyai makna gramatikal dan makna leksikal.
3) Sintaksis
Sintaksis adalah cabang ilmu
linguistik yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau
unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran, dalam sintaksis yang biasa
dibicarakan adalah struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, peran
sintaksis, satuan sintaksis berupa frase, kalimat, kalimat, dan wacana (Chaer,
2007: 206).
4) Semantik
Verhaar (dalam Pateda, 2001: 7)
mengatakan bahwa semantik adalah teori makna atas teori arti (kata semantik
sebagai nomina dan semantik sebagai ajektiva). Memang secara empiris sebelum
seseorang berbicara dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang, terjadi
proses mental pada diri keduanya. Proses mental itu berupa menyusun kode
semantik, kode gramatikal dan kode fonologis pada pihak pembicara, dan proses
memecahkan kode fonologis pada pihak pendengar. Dengan kata lain, baik pada
pihak pembicara maupun pendengar terjadi pemaknaan. Soal makna menjadi urusan
semantik. Berdasarkan hal tersebut dapat sisimpulkan bahwa semantik adal
subdisiplin ilmu linguistik yang membicarakan makna.
PEMBAHASAN
Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas
linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonologi (fonetik/fonemik), morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan, bidang linguistik terapan mencakup psikolinguistik,
sosiolinguistik, antropolinguistik, pragmatik dan lain-lain. Beberapa
bidang tersebut dijelaskan dalam sub-bab berikut ini.
A. FONOLOGI
1. FONETIK
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Bunyi bahasa dapat pula diartikan sebagai bunyi yang
diartikulasikan yang menghasilkan gelombang bunyi sehingga dapat diterima oleh
telinga manusia.
a) Kajian bunyi
bahasa
Fonetik merupakan kajian mengenai bunyi bahasa.
Berdasarkan proses terjadinya, fonetik dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu; (1) Fonetik akustis yaitu mempelajari bunyi bahasa yang berupa getaran udara dan
mengkaji tentang frekuensi getaran bunyi, amplitudo, intensitas dan timbrenya; (2) Fonetik auditoris yaitu mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi
sebagai hasil dari udara yang bergetar; (3) Fonetik artikulatoris adalah
fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat ucap manusia
menghasilkan bunyi bahasa serta pengklasifikasian bahasa berdasarkan
artikulasinya.
Dalam kesempatan kali ini
hanya akan membahas mengenai fonetik artikulatoris karena yang menjadi
perhatian mengenai proses produksi bunyi bahasa dan alat ucap apa saja yang
beroperasi ketika bunyi itu diproduksi.
1. Produksi
bunyi bahasa
Dalam proses pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor
yang terlibat, yaitu; (1) sumber tenaga
(udara yang dihembuskan oleh
paru-paru); (2) alat ucap yang dilewati udara dari
paru-paru (batang tenggorok, kerongkongan, rongga mulut dan rongga hidung);(3) artikulator (penghambat).
Proses pembentukan bahasa melibatkan empat komponen,
yaitu proses aliran udara, proses fonansi, proses artikulasi dan proses
orsonal. Produksi bunyi melibatkan alat-alat ucap di sekitar mulut, hidung dan
tenggorokan. Namun, pada dasarnya alat ucap terdiri atas paru-paru, kerongkongan, langit-langit, gusi dalam, gigi, bibir, dan lidah.
2. Klasifikasi Bunyi Bahasa
Berdasarkan ada tidaknya artikulasi, yaitu; (1) vokal, yaitu bunyi bahasa yang tidak mengalami hambatan
pada saat pembentukannya; (2) konsonan, yaitu bunyi bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada
sebagian alat ucap;(3) semi-vokal,
yaitu bunyi yang sebenarnya tergolong konsonan tetapi pada saat diartikulasikan
belum membentuk konsonan murni.
Berdasarkan jalan keluarnya arus udara, yaitu; (1) bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup
arus udara ke luar melalui rongga mulut dan membuka jalan agar arus udara dapat
keluar melalui rongga hidung; (2) bunyi oral,
yaitu bunyi yang dihasilkan dengan jalan mengangkat ujung anak tekak mendekati
langit-langit lunak untuk menutupi rongga hidung, sehingga arus udara keluar
melalui mulut.
Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat
bunyi di artikulasikan, yaitu; (1) bunyi keras
(fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu diartikulasikan disertai
ketegangan kuat arus; (2) bunyi lunak
(lenis), yaitu bunyi yang pada waktu diartikulasikan tidak disertai ketegangan
kuat arus.
Berdasarkan lamanya bunyi diucapkan atau
diartikulasikan, yaitu; (1) bunyi panjang; dan (2) bunyi pendek. Berdasarkan
derajat kenyaringannya, bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak
nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau besarnya ruang resonansi
pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang resonansi saluran bicara waktu
membentuk bunti, makin tinggi derajat kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata, yaitu; (1) bunyi tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam
satu suku kata (semua bunyi vokal atau monoftong dan konsonan); (2) bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat
dalam satu suku kata. Bunyi rangkap terdiri dari diftong
(vokal rangkap): [ai], [au] dan [oi] dan- klaster (gugus konsonan): [pr], [kr], [tr] dan [bl].
Berdasarkan arus udara, yaitu; (1)
bunyi egresif, adalah bunyi yang
dibentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru. Bunyi
egresif dibedakan menjadi bunyi egresif
pulmonik (dibentuk dengan mengecilkan ruang
paru-paru,otot perut dan rongga dada) dan bunyi egresif
glotalik (terbentuk dengan cara merapatkan
pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup); (2) bunyi
ingresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara menghisap udara ke dalam
paru-paru. Bunyi ingresif dibedakan menjadi dua, yaitu ingresif
glotalik (pembentukannya sama dengan egresif glotalik tetapi berbeda pada arus udara) dan ingresif velarik (dibentuk
dengan menaikkan pangkal lidah ditempatkan pada langit-langit lunak).
3. Pembentukan Vokal
Berdasarkan posisi bibir, yaitu; (1)
vokal bulat, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat. Misalnya,
vokal [u], [o] dan [a]; dan (2) vokal tak
bulat, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau melebar.
Misalnya, [I], [e] dan [ə].
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, yaitu; (1) vokal tinggi, yaitu vokal yang dibentuk jika rahang
bawah merapat ke rahang atas : [I] dan [u]; (2) vokal madya ,
yaitu vokal yang dibentuk jika rahang bawah menjauh sedikit dari rahang atas :
[a] dan [o]; (3) vokal rendah, yaitu vokal yang dibentuk jika rahang
bawah dimundurkan lagi sejauh-jauhnya : [a].
Berdasarkan maju mundurnya lidah, yaitu; (1) vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan
naik turunnya lidah bagian depan : [i] dan[e]; (2) vokal tengah,
yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan lidah bagian tengah:
[a] dan [o]; dan (3) vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh
gerakan naik turunnya lidah bagian belakang : [u] dan [o].
Berdasarkan strikturnya dibagi
menjadi empat. Striktur adalah keadaan hubungan posisional
artikulator (aktif) dengan artikulator pasif atau titik artikulasi. Dilihat
dari strikturnya, yaitu; (1) vokal
tertutup, yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin
mendekati langit-langit dalam batas vokal. [i] dan [u]; (2) vokal semi tertutup, yaitu vokal yang dibentuk dengan
lidah diangkat duapertiga di atas vokal paling rendah : [e] dan[o]; (3) vokal semi terbuka, yaitu vokal yang dibentuk dengan
lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal paling rendah :[ɔ] dan
[o]; (4) vokal terbuka, yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah
dalam posisi rendah mingkin : [a] dan [A].
4. Pembentukan Konsonan
Berdasarkan daerah artikulasinya (struktur), yaitu; (1) konsonan
bilabial, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah bibir
yang bersama-sama bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi : [p],
[b], [m] dan [w]; (2) konsonan
labiodental, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi atas
sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulator : [f] dan [v]; (3) konsonan apiko-dental, yaitu konsonan yang dihasilkan
oleh ujung lidah sebagai artikulator dan daerah antar gigi (dents) sebagai
titik artikulasi : [t], [d] dan [n]; (4) konsonan
apiko-alveolar, yaitu konsonan yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai
arikulator dan lengkung kaki gaga (alveolum) sebagai titik artikulasi : [s],
[z[, [r] dan [l]; (5) konsonan
paltal (lamino-palatal), yaitu konsonan yang dihasilkan oleh bagian tengah
lidah (lamina) sebagai artikulator dan langit-langit keras (plantum) sebagai
titik artikulasi : [c], [j], [S], [n] dan [y]; (6) konsonan
velar (dorso-velar), yaiti konsonan yang dihasilkan oleh belakang lidah (dorsum)
sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasi : [k],
[g], [x]; (7) konsonan glotal atau hamzah, yaitu konsonan yang
dibentuk oleh posisi pita suara sama sekali merapat sehingga menutup glotis :
[?]; dan (8) konsonan laringal, yaitu konsonan yang dibentuk dengan
pita suara terbuka lebar sehingga udara keluar dan digesekan melalui glotis :
[h].
Berdasarkan cara artikulasinya, diantaranya; (1) konsonan hambat (stop), yaitu
konsonan yang dihasilkan dengan cara menghalangi sama sekali udara pada daerah
artikulasi : [p], [t], [c],[k], [d], [j], dan [g]; (2) konsonan
geser (frikatif), yaitu konsonan yang dibentukmdengan cara menggesekkan udara
yang keluar dari paru-paru : [h], [s], [S], [z] dan [x]; (3) konsonan likuida (lateral), yaitu konsonan yang
dihasilkan dengan menaikkan lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa
diaduk dan dikeluarkan melalui kedua sisi lidah : [l]; (4) konsonan getar (trill), yaitu konsonan yang dihasilkan
dengan cara menjauhkan dan mendekatkan lidah ke alveolum dengan cepat dan
berulang-ulang : [r]; dan (5) semi vokal,
yaitu konsonan yang pada saat diartikulasikan belum membentuk konsonan murni :
[w] dan [y].
Berdasarkan posisi pita suara, yaitu; (1) konsonan bersuara,yaitu konsonan yang terjadi jika
ydara yang keluar dari rongga ujaran turut menggetarkan pita suara : [b], [m],
[v], [d], [r], [n], [j], [h], [g] dan [r]; dan (2) konsonan tak
bersuara, yaitu konsonan yang terjadi jika udara yang keluar dari rongga ujaran
tidak menggetarkan pita suara : [p], [t], [c], [k], [?], [f], [S], [x] dan [h].
Berdasarkan jalan keluarnya udara, diantaranya; (1) konsonan nasal,yaitu konsonan yang
terjadi jika udara keluar melalui rongga hidung : [m], [n] dan [p]; dan (2) konsonan oral, yaitu konsonan yang terjadi jika udara keluar
melalui rongga mulut, contohnya adalah semua konsonan selain pada konsonan
nasal.
b) Pengaruh dan Pemengaruh Bunyi
Bahasa
1.
Proses
Asimilasi
Proses asimilasi adalah pengaruh yang mempengaruhi bunyi tanpa mempengaruhi
identitas fonem dan terbatas pada asimilasi fonetis saja. Berdasarkan arah
pengaruh bunyinya, proses asimilasi dibedakan menjadi; (a) Asimilasi Progresif, yaitu proses asimilasi yang
terjadi apabila arah pengaruhnya ke depan; dan (b) Asimilasi Regresif, yaitu proses asimilasi yang terjadi apabila arah
pengaruhnya ke belakang.
2.
Artikulasi
penyerta
Proses pengaruh bunyi yang disebabkan oleh artikulasi
ini dibedakan menjadi; (a) Labialisasi, yaitu pembulatan bibir pada artikulasi primer sehingga
terdengar bunyi semi-vokal [w] pada bunyi utama
tersebut. Misalnya, bunyi [t] pada kata tujuan terdengar sebagai bunyi [tw]; (b)
Retrofleksi, yaitu penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer,
sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utama. Misalnya, [kr] dari
bunyi [k] pada kata kardus;(c) Palatalisasi, yaitu pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras
pada artikulasi primer. Misalny bunyi [p] pada kata piara terdengar sebagai [py]; (d) Velarisasi,
yaitu pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada artikulasi
primer. Misalnya, bunyi [m] pada kata mahluk terdengar sebagai [mx]; (e)
Glotalisasi, yaitu proses penyerta hambatan pada glottis atau glottis tertutup
rapat sewaktu artikulasi primer diucapkan. Vokal dalam bahasa Indonesia sering
diglotalisasi. Misalnya, bunyi [o] pada kata obat terdengar sebagai [ɔ].
3.
Pengaruh Bunyi karena Distribusi
a)
Pengaruh
bunyi karena distribusi menimbulkan proses-proses sebagai berikut; Aspirasi, yaitu pengucapan suatu bunyi disertai dengan hembusan keluarnya
udara dengan kuat sehingga terdengar bunyi [h]. Misalnya, konsonan letup
bersuara [b,d,j,g] terdengar sebagai [bh,dh,jh,gh].
b)
Pelepasan,
yaitu pengucapan bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat tetapi tidak
dihambat dan dengan serentak bunyi berikutnya diucapkan. Pelepasan dibedakan
menjadi tiga, yaitu; (1) lepas tajam
atau lepas penuh, yaitu pelepasan alat-alat artikulasi dari titik artikulasinya
yang terjadi secara tajam atau secara
penuh; (2) lepas nasal, yaitu suatu pelepasan yang terjadi karena
adanya bunyi nasal didepannya; (3) lepas
sampingan , yaitu pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi sampingan
didepannya; dan (3) Pemgafrikatan
, yaitu suatu keadaan yang terjadi jika bunyi letup hambat yang seharusnya
dihambat dan diletupkan tidak dilakukan, melainkan setelah hambatan dilepaskan
secara bergeser dan pelan-pelan.
4.
Kehomorganan
Kehomorganan yaitu konsonan yang mempiunyai sifat khusus. Terdapat dua
jenis kehomorganan, yaitu; (a) kehomorganan penuh adalah
kehomorganan yang muncul akibat perbedaan bunyi; dan (b) kehomorganan sebagian adalah kehomorganan yang muncul apabila perbedaan diantara pasangan fonem
tersebut pada cara artikulasinya, sedangkan daerah artikulasinya sama.
c) Transkripsi
Bunyi Bahasa
Transkripsi adalah penulisan tuturan atau perubahan
teks dengan tujuan untuk menyarankan lafal bunyi, fonem, morfem atau tulisan
sesuai dengan ejaan yang berlakudalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya.
Transkripsi dibedakan menjadi.
a. Transkripsi fonetis, yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi. Tanda […]
b. Transkripsi fonemis, yaitu transkripsi bahasa menurut fonem. Tanda /…/
c. Transkripsi fonemis, yaitu penulisan pengubahan menurut morfem. Tanda
{…}
d. Transkripsi ortografis, yaitu penulisan pengubahan menurut huruf atau
ejaan bahasa yangt menjadi tujuannya. Tanda <…>.
Transliterasi adalah penggantian huruf demi huruf dari
abjad yang satu ke abjad yang lain tanpa menghiraukan lafal bunyi kata yang
bersankutan. Misalnya, transliterasi dari aksara jawa dialihkan ke huruf abjad
latin.
d) Bunyi Suprasegmental
Ciri-ciri bumyi suprasegmental antara lain :
a. Jangka, yaitu panjang pendeknya bunyi yang diucapkan. Tanda […]
b. Tekanan, yaitu penonjolan suku kata dengan memperpanjang pengucapan,
meninggikan nada dan memperbesar intensitas tenaga dalam pengucapan suku kata
tersebut.
c. Jeda atau sendi, yaitu ciri berhentinya pengucapan bunyi. Sendi
dibedakan menjadi:
- Sendi tambah (+), yaitu jeda yang berada di antara dua suku kata. Ukuran
panjangnya kurang dari satu fonem.
- Sendi tunggal (/), yaitu jeda yang berada di antara dua kata dalam frasa
dengan ukuran panjang satu fonem.
- Sendi rangkap (//), yaitu jeda yang berada d iantara dua fungsi unsure
klausa atau kalimat, di antara subjek dan predikat.
- Sendi kepang rangkap (#), yaitu jeda yang berada sebelum dan sesudah
tuturan sebagai tanda diawali dan diakhirinya tuturan.
d. Intonasi dan ritme
Intonasi adalah cirri suprasegmental yang berhubungan dengan naik turunnya
nada dalam pelafalan kalimat.
Ritme adalah cirri suprasegmental yang brerhubungan dengan pola pemberian
tekanan pada kata dalam kalimat.
2.
FONEMIK
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang
bersifat fungsional, artinya satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna. Sedangkan, fonemisasi
adalah usaha untuk menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan
makna tersebut.
a.
Pengenalan Fonem
Dalam mengenal fonem terdapat beberapa pokok pikiran umum yang disebut
premis-premis fonologis. Berdasarkan sifat
umumnya premis-premis bahasa tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bunyi bahasa
mempunyai kencenderungan untuk dipengaruhi oleh lingkungannya.
2.
Sistem bunyi
mempunyai kecenderungan bersifat simetris.
3.
Bunyi-bunyi
bahasa yangsecara fonetis mirip harus digolongkan ke dalam kelas-kelas bunyi
(fonem) yang berbeda, apabila terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang
sama.
4.
Bunyi-bunyi
yang secara fonetis mirip dan terdapat di dalam distribusi yang komplementer,
harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas bunyi (fonem) yang sama.
b.
Beban Fungsional Fonem
Dalam kajian fonologi sering dipaparkan beban fungsional dari oposisi
fonemis tertentu. Beban oposisi rendah terdapat pada bunyi /p/ dan /f/ pada
kata kapan dan kafan,
sedangkan beban oposisi tinggi terdapat pada bunyi /k/ dan /g/ pada kata gita
dan kita.
c.
Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan sebenarnya dari ciri atau satuan
fonologis, yaitu fonem menjadi bunyi bahasa.
1.
Realisasi
vokal berdasarkan pembentukannya, realisasi fonem vokal dibedakan sebagai berikut
:
a. Fonem /i/ adalah vokal tinggi-depan-tak bulat.
b. Fonem /u/ adalah vokal atas-belakang-bulat.
c. Fonem /e/ adalah vokal sedang-depan-bulat.
d. Fonem /ə/ adalah
vokal sedang-tengah-bulat.
e. Fonem /o/ adalah vokal sedang-belakang-bulat
f. Fonem /a/ adalah vokal rendah-tengah-bulat.
2.
Realisasi
konsonan
Berdasarkan cara pembentukannya, realisasi fonem konsonan dibedakan sebagai
berikut :
a. Konsonan hambat
b. Konsonan Frikatif
c. konsonan getar-alveolar
d. konsonan lateral-alveolar
e. konsonan nasal
f. semi-vokal .
d.
Variasi Fonem
Variasi fonem ditentukan oleh lingkungan dalam
distribusi yang komplementer disebut variasi alofonis. Variasi fonem yang tidak
membedakan bentuk dan arti kata disebut alofon.
1.
Alofon vokal
- Alofon fonem /i/, yaitu
[i] jika terdapat pada suku kata terbuka. Misalnya, [bibi] /bibi/
[I] jika terdapat pada suku kata tertutup. Misalnya, [karIb] /karib/
[Iy] palatalisasi jika diikuti oleh vokal [aou]. [kiyos]
/kios/
[ϊ] nasalisasi jika diikuti oleh nasal. [ϊndah] /indah/
- Alofon fonem /ε/, yaitu [e] jika terdapat pada suku kata terbuka dan
tidak diikuti oleh suku kata yang mengandung alofon [ε]. Misalnya, [sore]
/sore/[ε] jika terdapat pada tempat-tempat lain. Misalnya, [pεsta] /pesta/[ǝ] jika terdapat pada posisi suku kata terbuka. [pǝta]/peta/
[ǝ] jika
terdapat pada posisi suku kata tertutup. [sentǝr]/senter/- Alofon fonem /o/, yaitu [o] jika terdapat pada suku kata akhir
terbuka. [soto]/soto/ [ɔ] jika terdapat pada posisi lain. [jeblɔs]/jeblɔs/
- Alofon fonem /a/, yaitu
[a] jika terdapat pada semua posisi suku kata.
[aku] /aku, [sabtu] /sabtu/
- Alofon fonem /u/, yaitu
[u] jika terdapat pada posisi suku kata terbuka.
[aku] /aku/, [buka] /buka/
[U] jika terdapat pada suku kata tertutup.
[ampUn]/ampun/, [kumpul] /kumpul/
[uw] labialisasi jika diikuti oleh[I,e,a].
[buwih] /buih/, [kuwe] /kue/
2.
Alofon
konsonan
- fonem /p/
[p] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [pipi] /pipi/, [sapi] /sapi/.
[p>] bunyi tak lepas jika terdapat pada suku kata tertutup, misalnya: [atap>] /atap/, [balap>]
/balap/
[b] bunyi lepas jika diikuti oleh vocal, misalnya: [babi]
/babi/, [babu] /babu/
[p>] bunyi taklepas jika terdapat pada suku kata tertutup,
namun berubah lagi menjadi [b] jika diikuti lagi vokal, misalnya: [adap>] /adab/, [jawap>]
/jawab/
- Fonem /t/
[t] bunyi lepas jika diikutu oleh vokal, misalnya: [tanam]
/tanam/, [tusuk] /tusuk/
[t>] bunyi tak lepas jika terdapat
pada suku kata tertutup, misalnya: [lompat>] /lompat/,[sakit>] /sakit/.
[d] bunyi lepas jika diikuti vocal, misalnya: [duta] /duta/, [dadu] /dadu/.
[t>] bunyi hambat-dental-tak
bersuara dan tak lepas jika terdapat pada suku kata tertutup atau pada akhir
kata, misalnya: [abat>]
/abad/,[murtat>] /murtad/
- Fonem /k/
[k] bunyi lepas jika terdapat pada awal suku
kata, misalnya: [kala]/ kala/, [kelam]
/kelam/.
[k>] bunyi tak lepas jika tedapat
pada tengah kata dan diikuti konsonan lain, misalnya:m[pak>sa] /paksa/, [sik>sa] /siksa/.
[?] bunyi hambat glottal jika terdapat pada
akhir kata, misalnya: [tida?] /tidak/ [ana?] /anak/
- Fonem /g/
[g] bunyi lepas jika diikuti glottal, misalnya: [gagah] /gagah/, [gula] /gula/
[k>] bunyi hambat-velar-tak
bersuara dan lepas jika terdapat di akhir kata, misalnya: [beduk>] /bedug/,[gudek>] /gudeg/
- Fonem /c/
[c] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [cari] /cari/, [cacing]
/cacing/
- Fonem /j/
[j] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [juga] /juga/, [jadi] /jadi/
- Fonem /f/
[j] jika terdapat pada posisi sebelum dan
sesudah vokal, misalnya: [fakir] /fakir/, [fitri] /fitri/
- Fonem /p/
[p] bunyi konsonan hambat-bilabial-tak bersuara,
misalnya: [piker] /piker/, [hapal]
/hapal/
- Fonem /z/
[z] [zat] /zat/, [izin]- /izin/
- Fonem /š/
[š] umumnya terdapat di awal dan akhir kata, misalnya: [šarat] /syarat/, [araš]
/arasy/
- Fonem /x/
[x] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [xas] /khas/, [xusus] /khusus/
- Fonem /h/
[h] bunyi tak bersuara jika terdapat di awal dan
akhir suku kata, misalnya: [hasil] /hasil, [hujan] /hujan/
[H] jika berada di tengah kata, misalnya: [taHu] /tahu/, [laHan] /lahan/
- Fonem /m/
[m] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [masuk] /masuk/, [makan]
/makan/
- Fonem /n/
[n] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [nakal] /nakal/, [nasib]
/nasib/
- Fonem /ň/
[ň] berada di awal suku kata, misalnya: [baňak] /banyak/, [buňi]
/bunyi/
- Fonem /Ƞ/
[Ƞ] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [Ƞarai] /ngarai/, [paȠkal]
/pangkal/
- Fonem /r/
[r] berada di awal dan akhir suku kata,
kadang-kadang bervariasi dengan bunyi getar uvular [R], misalnya: [raja] atau [Raja] /raja/,
[karya] atau [kaRya] /karya/
- Fonem /l/
[l] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [lama] /lama/, [palsu] /palsu/
- Fonem /w/
[w] merupakan konsonan jika terdapat di awal
suku kata dan semi vokal pada akhir suku
kata, misalnya: [waktu] /waktu/, [wujud]
/wujud/
- Fonem /y/
[y] merupakan konsonan jika terdapat di awal
suku kata dan semi vocal pada
akhir suku kata, misalnya: [santay] /santai/, [ramai] /ramai/
e. Netralisasi
dan Akrifonem
Netralisasi
adalah alternasi fonem akibat pengaruh lingkungan atau pembatalan perbedaan
minimal fonem pada posisi tertentu. Alternasi fonem adalah perubahan fonem
menjadi fonem lain tanpa membedakan makna. Adanya bunyi /t/ pada akhir lafal
kata [babat] untuk /babad/ adalah hasil netralisasi
Arkifonem
adalah golongan fonem yang kehilangan kontras pada posisi tertentu dan biasa
dilambangkan dengan huruf besar seperti/D/ yang memiliki alternasi atau varian
fonem /t/ dan fonem /d/ pada kata [babat] untuk /babad/.
f. Pelepasan
Fonem dan Kontraksi
Pelepasan
bunyi adalah hilangnaya bunyi atau fonem pada awal, tengah dan akhir sebuah
kata tanpa mengubah makna. Contoh : /tetapi/ menjadi /tapi/.
Pelepasan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)
Aferesis, yaitu pelepasan fonem pada awal kata, misalnya: /tetapi/ menjadi /tapi/,
/baharu/ menjadi /baru/.
2)
Sinkope, yaitu pelepasan fonem pada tengah kata,
misalnya: /silahkan/ menjadi /silakan/,
/dahulu/ menjadi /dulu/.
3)
Apokope, yaitu pelepasan fonem pada akhir kata, misalnya: /president/ menjadi
/president/, /standard/ menjadi /standar/
Jenis pelepasan bunyi yang lain adalah haplologi
,yaitu pemendekan pada sebuah kata karena penghilangan suatu bunyi atau
suku kata pada pengucapannya. Misalnya : tidak ada menjadi tiada, bagaimana
menjadi gimana.
g. Disimilasi
Disimilasi
adalah perubahan bentuk kata karena salah satu dari dua buah fonem yang sama
diganti dengan fonem yang lain. Contoh disimilasi :
1)
Disimilasi sinkronis, contohnya : ber + ajar/
belajar. Fonem /r/ pada awalan ber- diubah menjadi /l/.
2)
Disimilasi diakronis, contohnya : kata cipta berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu citta. Jadi terdapat perubahan dari fonem
/tt/ menjadi /pt/.
h. Metatesis
Metatesis
adalah letak dua segmen yang dapat dipertukarkan, dalam proses metatesis yang
diubah adalah urutan fonem-fonem tertentu yang biasanya terdapat bersama dengan
bentuk asli, sehingga ada variasi bebas. Misalnya, jalur menjadi lajur, almari
menjadi lemari.
B. MORFOLOGI
1. Proses Morfologis
Proses morfologis menurut
Samsuri (1985:190) adalah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan
morfem yang satu dengan morfem yang lain. Kata disebutnya sebagai bentuk
minimal yang bebas, artinya bentuk itu dapat diucapkan tersendiri, bisa
dikatakan, dan bisa didahului dan diikuti oleh jeda yang potensial. Di samping
itu, bentuk itu akan mendapat pola intonasi dasar/[2]31/. Bentuk-bentuk seperti
/apa/, /mana/ akan mendapat kontur intonasi /31/; /keras/, /beras/ akan
mendapat kontur intonasi /231/, /pas/, /ban/ akan mendapat kontur intonasi 31/;
/menara/ berkontur intonasi /[2]231/. Jadi, proses morfologis adalah proses
penggabungan morfem menjadi kata.
Proses morfologis meliputi (1)
afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4) suplisi, dan (3)
modifikasi kosong (Samsuri, 190-193). Namun, di dalam bahasa Indonesia yang
bersifat aglutinasi ini tidak ditemukan data proses morfologis yang berupa
perubahan intern, suplisi, dan modifikasi kosong. Jadi, proses morfologis dalam
bahasa Indonesia hanya melalui afiksasi dan reduplikasi.
a) Afiksasi
Afiksasi menurut Samsuri (1985: 190), adalah
penggabungan akar kata atau pokok dengan afiks. Afiks ada tiga macam, yaitu awalan,
sisipan, dan akhiran. Karena letaknya yang selalu di depan bentuk dasar,
sebuah afiks disebut awalan atau prefiks. Afiks disebut sisipan (infiks) karena
letaknya di dalam kata, sedangkan akhiran (sufiks) terletak di akhir kata.
Dalam bahasa Indonesia, dengan bantuan afiks kita akan mengetahui kategori
kata, diatesis aktif atau pasif, tetapi tidak diketahui bentuk tunggal atau
jamak dan waktu kini serta lampau seperti yang terdapat dalam bahasa Inggris.
b) Prefiks (Awalan)
·
Prefiks be(R)-
Prefiks be(R)- memiliki beberapa variasi.
Be(R)- bisa berubah menjadi be- dan bel-. Be(R)- berubah
menjadi be- jika (a) kata yang dilekatinya diawali dengan huruf r dan
(b) suku kata pertama diakhiri dengan er yang di depannya konsonan.
be(R)- + renang → berenang
.
be(R)+ ternak — beternak
be(R)+kerja – bekerja
· Prefiks me (N)-
Prefiks me(N)- mempunyai beberapa
variasi, yaitu me(N)- yaitu mem-, men-, meny-, meng-, menge-, dan
me-. Prefiks me(N)- berubah menjadi mem- jika
bergabung dengan kata yang diawali huruf /b/, /f/, /p/, dan /v/,
misalnya:
me(N)- + baca →membaca
me(N)- + pukul → memukul.
Prefiks me(N)- berubah menjadi men-
jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /d/, /t/, /j/,
dan /c/, misalnya, me(N)- + data → mendata, me(N)- + tulis
→ menulis, me(N)-+ jadi
→ menjadi, dan me(N)- + cuci
→mencuci. Prefiks me(N)-
berubah menjadi meny- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf
/s/, misalnya, me(N)- + sapu → menyapu. Prefiks me(N)- berubah
menjadi meng- jika bergabung dengan kata yang diawali dengan huruf /k/
dan /g/, misalnya, me(N)- + kupas →mengupas dan me(N)- + goreng
menggoreng. Prefiks me(N)- berubah menjadi menge- jika
bergabung dengan kata yang terdiri dari satu suku kata, misalnya, me(N)-
+ lap → mengelap, me(N)- + bom→ mengebom, dan me(N)- +
bor→ mengebor.
· Prefiks pe (R)-
Prefiks pe(R)-
merupakan nominalisasi dari prefiks be(R). Perhatikan contoh
berikut!
Berawat→ perawat
Bekerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- mempunyai variasi pe-
dan pel-. Prefiks pe(R)- berubah menjadi pe, jika
bergabung dengan kata yang diawali huruf r dan kata yang suku katanya berakhiran
er, misalnya, pe(R)- + rawat →perawat dan pe(R)- + kerja→ pekerja. Prefiks pe(R)-
berubah menjadi pel- jika bergabung dengan kata ajar, misalnya, pe(R)-
+ ajar→ pelajar.
· Prefiks pe(N)-
Prefiks pe(N)-
mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar dengan prefiks me(N)-.
Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-, peny-,
peng-, pe-, dan penge-. Prefiks pe(N)- berubah
menjadi pem- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /t/,
/d/, /c/, dan /j/, misalnya, penuduh, pendorong,
pencuci, dan penjudi. Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem-
jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /b/ dan /p/,
misalnya, pebaca dan pemukul. Prefiks pe(N)-
berubah menjadi peny- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf
/s/, misalnya, penyaji. Prefiks pe(N)- berubah menjadi peng-
jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /g/ dan /k/,
misalnya, penggaris dan pengupas. Prefiks pe(N)-
berubah menjadi penge- jika bergabung dengan kata yang terdiri atas satu
suku kata, misalnya, pengebom, pengepel, dan pengecor. Prefiks pe(N)-
berubah menjadi pe- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /m/,
/l/, dan /r/, misalnya, pemarah, pelupa, dan perasa.
· Prefiks te(R)-
Prefiks te(R)- mempunyai beberapa
variasi, yaitu ter- dan tel-, misalnya, terbaca, ternilai,
tertinggi, dan telanjur.
c) Infiks (Sisipan)
Infiks termasuk afiks yang
penggunaannya kurang produktif. Infiks dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga
macam: -el-, -em-, dan –er-.
1. Infiks -el-, misalnya, geletar;
2. Infiks -er-, misalnya, gerigi,
seruling; dan
3. Infiks -em-, misalnya, gemuruh,
gemetar
d) Sufiks (Akhiran)
Sufiks dalam bahasa Indonesia mendapatkan
serapan asing seperti wan (karyawan), wati (karyawati), man (seniman). Adapun
akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan, dan –i.
1. sufiks -an, misalnya, dalam ayunan,
pegangan, makanan;
2. sufiks -i, misalnya, dalam memagari
memukuli, meninjui;
3. sufiks -kan, misalnya, dalam memerikan,
melemparkan; dan
4. sufiks -nya, misalnya, dalam susahnya,
berdirinya.
e) Konfiks
Konfiks adalah “gabungan afiks
yang berupa prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) yang merupakan satu afiks
yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks gabungan itu muncul secara serempak
pada morfem dasar dan bersama-sama membentuk satu makna gramatikal pada kata
bentukan itu” (Keraf, 1984: 115). Berikut ini
konfiks yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
1. konfiks pe(R)-an misalnya, dalam perbaikan,
perkembangan,
2. konfiks pe(N)-an misalnya, dalam penjagaan,
pencurian,
3. konfiks ke-an misalnya, kedutaan,
kesatuan,
4. konfiks be(R)-an misalnya, berciuman.
f) Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses
pengulangan kata dasar baik keseluruhan maupun sebagian. Reduplikasi dalam
bahasa Indonesia dapat dibagi sebagai berikut:
1. pengulangan seluruh
Dalam bahasa Indonesia
perulangan seluruh adalah perulangan bentuk dasar tanpa
perubahan fonem dan tidak dengan proses afiks.
Misalnya: orang → orang-orang, cantik → cantik-cantik
2. pengulangan sebagian
Pengulangan sebagian adalah
pengulangan sebagian morfem dasar, baik bagian awal maupun bagian akhir morfem.
Misalnya:
tamu → tetamu
berapa → beberapa
3. pengulangan dengan
perubahan fonem
Pengulangan dengan perubahan
fonem adalah morfem dasar yang diulang mengalami perubahan fonem. Misalnya: lauk
→ lauk-pauk, gerak → gerak-gerik
4. pengulangan berimbuhan.
Pengulangan berimbuhan adalah
pengulangan bentuk dasar diulang secara keseluruhan dan mengalami proses
pembubuhan afiks. Afiks yang dibubuhkan bisa berupa prefiks, sufiks, atau
konfiks. Perhatikan data berikut!
batu → batu-batuan
hijau → kehijau-hijauan
tolong → tolong-menolong
C. SINTAKSIS
Frasa
Frasa adalah
gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frasa membicarakan
hubungan antara sebuah kata dan kata yang lain. Frasa terdiri atas frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris terdiri atas frasa
eksosentris direktif (berpartikel) dan frasa eksosentris nondirektif (konektif
dan predikatif). Frasa endosentris terdiri atas frasa endosentris berinduk
tunggal dan frasa endosentris berinduk jamak. Frasa endosentris berinduk
tunggal dapat dibedakan menjadi frasa nominal, frasa pronominal, frasa verbal,
frasa adjektival, dan frasa numeral. Frasa endosentris berinduk jamak terbagi
menjadi frasa koordinatif dan frasa apositif.
Frasa Eksosentris
Frasa
eksosentris adalah frasa yang sebagian atau seluruhnya tidak memiliki perilaku
sintaksis yang sama dengan semua komponennya, baik dengan sumbu maupun dengan
preposisi. Frasa eksosentris mempunyai dua komponen. Komponen yang pertama
berupa perangkai dan perangkai itu berwujud preposisi partikel dan komponen
kedua berupa sumbu. Frasa yang berperangkai preposisi disebut frasa
preposisional atau frasa eksosentris direktif. Frasa yang berperangkai lain
disebut frasa eksosentris nondirektif.
a. Frasa
Eksosentris Direktif (Frasa Preposisional)
Pada dasarnya, frasa preposisional menunjukkan
makna berikut:
· Tempat, seperti
di kampus, ke sekolah, dan pada lemari.
· Asal arah,
seperti dari rumah dan dari kampung.
· Asal bahan,
seperti (cincin) dari emas dan
(jaket) dari kulit.
· Tujuan arah,
seperti ke Lombok dan ke kampus.
· Menunjukkan
peralihan, seperti kepada saya dan
(percaya) terhadap Tuhan.
· Perihal,
seperti tentang bahasa dan
(terkenang) akan kebaikannya.
· Tujuan,
seperti untukmu dan buatku
· Sebab,
seperti karena, lantaran, sebab, gara-gara (kamu).
· Penjadian,
seperti oleh karena dan untuk itu.
· Kesertaan,
seperti denganku dan dengan ibu.
· Cara,
seperti dengan baik dan dengan senang.
· Alat,
seperti dengan palu dan dengan penggaris.
· Keberlangsungan,
seperti sejak kemarin, dari tadi, dan sampai nanti.
· Penyamaan,
seperti selaras dengan, sesuai dengan, dan sejalan dengan.
· Perbandingan,
seperti sebagai bandingan dan seperti dia.
b. Frasa
Eksosentris Nondirektif
Frasa eksosentris nondirektif dapat dibedakan
menjadi (a) frasa yang sebagian atau seluruhnya memiliki perilaku yang sama
dengan bagian-bagiannya, seperti si
kancil, si terdakwa, sang kancil, sang kekasih, kaum marginal, kaum pengusaha, para pemuda; (b) frasa yang seluruhnya berperilaku sama dengan
salah satu unsurnya. Artinya, terdakwa
dan kekasih memiliki perilaku sama
dengan si terdakwa atau sang kekasih. Misalnya sama-sama dapat
menduduki fungsi subjek atau objek. Berikut contohnya.
· Aku bertanya
kepada (si) terdakwa.
· Ia tampak
gusar menunggu kedatangan (sang) kekasih.
· (Si) terdakwa menembak
rekannya yang justru ingin menolongnya.
· (Sang) kekasih rupanya
kini telah berperan ganda, sebagai kekasih sekaligus sebagai manajer tim.
Akan tetapi, ada juga frasa
yang tidak memiliki perilaku yang sama dengan bagian-bagiannya, seperti yang mulya, yang besar, yang hebat, yang itu, yang muda, yang bercinta.
Jadi, yang hebat tidak berperilaku
sama dengan yang dan tidak berperilaku
sama pula dengan mulya atau hebat.
Frasa Endosentris
Frasa
endosentris adalah frasa yang seluruhnya memiliki perilaku sintaksis yang sama
dengan perilaku salah satu komponennya. Frasa endosentris dapat dibedakan
menjadi frasa endosentris berinduk tunggal (frasa modifikatif) dan frasa
endosentris berinduk jamak.
a. Frasa
Endosentris Berinduk Tunggal (Frasa Modifikatif)
Frasa endosentris berinduk tunggal terdiri atas
induk yang menjadi penanda kategorinya dan modifikator yang menjadi pemerinya.
Frasa endosentris berinduk tunggal dapat diperinci sebagai berikut.
· Frasa
nominal adalah frasa yang terdiri atas nomina (sebagai pusat) dan unsur lain
yang berupa adjektiva, verba, numeralia, demonstrativa, pronomina, frase
preposisional, frasa dengan yang,
konstruksi dengan yang ...-nya, atau frasa lain. Contoh: meja batu, kursi rotan, tukang septau, dokter mata, teman separtai,
aturan setempat, anak manis, orang yang dicintainya.
· Frasa
Pronominal adalah frasa yang terdiri atas gabungan pronomina dan pronomina atau
gabungan pronomina dan adjektiva, adverbia, numeralia, atau demonstrativa.
Contoh: kami berdua, engkau sendiri,
mereka itu, kalian ini, tidak hanya kamu, kamu dan dia.
· Frasa verbal
adalah frasa yang terdiri atas gabungan verba dan verba atau gabungan verba dan
adverbia atau gabungan verba dan preposisi gabungan. Contoh: pergi kerja, berlari cepat, bernyanyi merdu,
tidur dengan nyamuk.
· Frasa
adjektival adalah frasa yang terdiri atas gabungan beberapa kata atau yang
terdiri atas induk berkategori adjektiva dan modifikator berkategori apa pun,
asalkan seluruhnya berprilaku sebagai adjektiva. Contoh: sedikit masam, agak pusing, cantik benar, gagah berani, panas terik,
hitam kelam, sering tidak ingat, agak nakal juga.
· Frasa
numeral adalah frasa yang terdiri atas numeralia sebagai induk dan unsur
perluasan lain yang mempunyai hubungan subordinatif dengan nomina penggolong
bilangan, dan nomina ukuran. Contoh: sembilan
gelas, dua lusin, dua atau tiga, sudah lima, beribu-ribu lalat, beberapa sak
semen.
b. Frasa
Endosentris Berinduk Banyak
Frasa
endosentris berinduk banyak terdiri atas beberapa komponen yang sederajat dalam
fungsi dan kategori. Frasa ini terbagi menjadi frasa koordinatif dan frasa
apositif.
· Frasa
Koordinatif adalah frasa endosentris berinduk banyak, yang secara potensial
kompenennya dapat dihubungkan dengan partikel, seperti dan, ke, atau, tetapi, ataupun konjungsi korelatif, seperti baik ... maupun dan makin ...makin. Contoh: kaya
atau miskin, untuk dan atas nama klien, baik merah maupun biru, makin tua makin
bermutu.
Jika tidak menggunakan partikel, agbungan itu
disebut frasa prataktis, seperti tua muda, besar kecil, ibu bapak, dan kaya miskin.
· Frasa
Apositif adalah frasa endosentris berinduk banyak yang secara luar bahasa
komponennya menunjuk pada maujud yang sama. Contoh: Megawati Soekarnoputri, salah seorang mantan Presiden Republik
Indonesia.
Klausa
Klausa
adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, yang sekurang-kurangnya
memiliki sebuah predikat, dan berpotensi menjadi kalimat. Dengan kata lain,
klausa membicarakan hubungan sebuah gabungan kata dan gabungan kata yang lain.
Klausa dapat dibedakan berdasarkan distribusi
satuannya dan berdasarkan fungsinya. Berdasarkan distribusi satuannya, klausa
dapat dibedakan menjadi klausa bebas dan klausa terikat. Berdasarkan fungsinya,
klausa dapat dibedakan menjadi klausa subjek, klausa objek, klausa keterangan,
dan klausa pemerlengkapan.
1. Klausa Berdasarkan Distribusi Satuan
Berdasarkan
potensinya untuk dibentuk menjadi kalimat, klausa dapat dibagi menjadi klausa
bebas dan klausa terikat. Klausa bebas adalah klausa yang berpotensi menjadi
kalimat lengkap. Klausa terikat adalah klausa yang tidak berpotensi menjadi kalimat
lengkap, tetapi hanya berpotensi menjadi kalimat minor.
2. Klausa Berdasarkan Fungsi
Berdasarkan
fungsinya, klausa ternyata dapat menduduki fungsi subjek, objek, keterangan,
dan pelengkap.
a. Subjek
Subjek
adalah bagian klausa yang berwujud nomina atau frasa nominal yang menandai apa
yang dinyatakan oleh pembicara (penulis). Di dalam bahasa Indonesia, subjek
biasanya mendahului predikat, seperti:
· Kami sekeluarga berlibur
· Berenang itu menyehatkan
Kedua klausa itu disebut klausa inti karena
terdiri atas subjek (kami sekelurga, berenang itu) serta predikat (berlibur, menyehatkan). Kedua klausa itu dapat menjadi inti kalimat, yang
bagian-bagiannya juga tetap menduduki fungsi subjek dan predikat, seperti:
· Kami sekeluarga bulan yang
lalu berlibur di Bali.
· Berenang itu ternyata dapat turut menyehatkan fisik dan mental.
b. Objek
Objek adalah bagian klausa
yang berwujud nomina atau frasa nominal yang melengkapi verba transitif. Obje
dikenai pebuatan yang disebutkan dalam predikat verbal. Objek dapat dibagi
menjadi objek langsung dan objek tak langsung.
Objek langsung adalah objek yang langsung
dikenai perbuatan yang disebut dalam predikat verbal; objek tak langsung adalah
objek yang menjadi penerima atau yang diuntungkan oleh perbuatan yang terdapat
dalam predikat verbal. Contoh objek langsung:
· Bibi sedang
menanak nasi.
· Ibu membawa minuman.
Nasi pada contoh di atas merupakan
objek bagi verba menanak dan minuman menjadi objek bagi verba membawa.
Contoh objek tak langsung:
· Bibi sedang
menanakkan nasi untuk kita semua.
· Ibu
membawakan minuman untuk ayah.
Kita semua objek tak langsung bagi verba menanakkan, sedangkan ayah
objek tak langsung bagi verba membawakan.
c. Keterangan
Klausa
keterangan adalah klausa yang menjadi bagian luar inti, yang berfungsi
meluaskan atau membatasi makna subjek atau makna predikat. Contohnya:
· Keterangan
akibat: penjahat itu dihukum mati
· Keterangan
sebab: karena sakit, ia tidak jadi ikut
· Keterangan
jumlah: bagai pinang dibelah dua
· Keterangan
alat: dinaikkan dengan mesin pengangkat
· Keterangan
cara: diterima dengan baik
· Keterangan
kualitas: berlari bagai kilat
· Keterangan
modalitas: mustahil ia berbohong
· Keterangan
pewatas: keterangan lebih lanjut, diceritakan lebih detail
· Keterangan
subjek: guru yang baik, rumah yang bersih
· Keterangan
syarat: angkatlah jika kuat
· Keterangan
objek: menjadi istri yang baik
· Keterangan
tujuan: bekerja untuk hidup
· Keterangan
tempat: datang dari Lombok, pergi ke Solo
· Keterangan
waktu: ditunggu sampai besok pagi, berangkat masih subuh
· Keterangan
perlawanan: meskipun lambat, selesai juga
dikerjakannya
d. Pelengkap
Klausa pelengkap adalah klausa yang terdiri atas
nomina, frasaa nomina, ajektiva, atau frasa adjektiva yang merupakan bagian
dari predikat verbal, seperti:
· Abangku
menjadi pilot
· Kami bermain
bola
· Aku dianggap
patungpaman berdagang kain
· Negara kita
berdasarkan pancasila
3. Klausa Berdasarkan Struktur
a. Klausa
Verbal
Klausa verbal adalah klausa yang predikatnya
verba. Contohnya:
· Saya makan
· Ibu
menyiapkan makanan
Klausa verbal terdiri atas klausa verbal aktif
transitif dan klausa verbal aktif tak transitif. Klausa verbal aktif adalah
klausa yang menunjukkan bahwa subjek melakukan pekerjaan seperti yang
disebutkan dalam predikat verbalnya. Verba yang menjadi predikatnya berimbuhan meng- atau ber-. Contohnya:
· Adik menangis
· Kami bermain bola
Klausa verbal aktif transitif
adalah klausa yang predikat verbalnya mempunyai sasaran dan/atau mempunyai
objek. Verba yang menjadi predikatnya berimbuhan meng-, meng-/-i, meng-/-kan. Contohnya:
· Aku
mengirimkan surat
· Bibi menjual
makanan
Selain itu ada juga verbal
aktif yang tidak menyebutkan objek karena objek itu amat dipahami masyarakat
pemakai bahasa. Misalnya, pemakai bahasa Indonesia dapat memahami bahwa klausa mereka makan bersama berarti ‘mereka
makan nasi bersama’ dan kelakuannya sangat menarik berarti ‘kelakuannya sangat menarik hati’.
Klausa verbal aktif transitif
resiprokal adalah klausa yang subjeknya melakukan pekerjaan yang disebut
predikat verbalnya, tetapi secara berbalasan atau klausa yang subjeknya saling
melakukan pekerjaan yang disebutkan predikat verbalnya.
Klausa jenis ini ada yang
bersubjek tunggal dan ada juga yang bersubjek jamak.
· Bersubjek
tunggal: ia berpandangan dengan ibunya
· Bersubjek
jamak: mereka berbantah, mobil
bertabrakan, perusuh baku pukul
Klausa verbal pasif adalah
klausa yang menunjukkan bahwa subjek dikenai pekerjaan atau sasaran perbuatan
seperti yang disebutkan dalam predikat verbalnya. Verba yang menjadi
predikatnya berimbuhan di-, ter-,
atau ber-, ke-/-an atau diawali oleh
kata kena.
·
Dikenai pekerjaan, seperti kakak bercukur, korban tertembak, korban ditembak, kami kehujanan
·
Dikenai sasaran perbuatan, seperti melarikan diri, memperkaya diri
Klausa verbal aktif tak
transitif adalah klausa yang predikat verbalnya tidak mempunyai sasaran dan
tidak mempunyai objek. Contohnya:
·
Kelakuannya menjadi-jadi
·
Pengetahuan kita bertambah
·
Para nelayan bersatu
b. Klausa Nonverbal
Klausa nonverbal adalah klausa
yang predikatnya berupa nomina, pronomina, adjektiva, numeralia, atau frasa
preposisional, seperti:
·
Saya ke bandung
·
Ayahku guru
·
Dia sedang sakit
Klausa ekuatif adalah klausa
nonverbal yang predikatnya menggunakan adalah
atau merupakan, seperti:
·
Menjaga kebersihan kelas merupakan tugas kita bersama.
·
Yang kuinginkan adalah hidup tenang dan damai.
Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa
yang secara relatif berdiri sendiri, yang sekurang-kurangnya memiliki sebuah
subjek dan predikat, mempunyai intonasi final (kalimat lisan), dan secara
aktual ataupun potensial terdiri atas klausa. Dapat dikatakan bahwa kalimat
membicarakan hubungan antara sebuah klausa dan klausa yang lain.
Menurut bentuknya, kalimat
dibedakkan menjadi kalimat tunggal, kalimat tunggal dan perluasannya, serta
kalimat majemuk. Kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara,
kaliamt majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
1. Kalimat Menurut Bentuk
a. Kalimat
Tunggal
Kalimat
tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu predikat. Dengan
demikian, semua kalimat dasar adalah juga kalimat tunggal. Kalimat tunggal
dapat diperoleh dari beberapa segi.
· Kalimat
tunggal adalah kalimat dasar murni.
Contoh: Rupiah menguat.
· Kalimat
tunggal adalah kalimat dasar yang diperluas dengan berbagai keterangan.
Contoh: Wisatawan asing berkunjung ke Indonesia.
· Kalimat
tunggal adalah kalimat dasar yang berubah susunannya.
Contoh: Berdiri aku di senja senyap.
Dalam bahasa Indonesia terdapat enam pola
kalimat, yaitu:
· Subjek (KB)
+ Predikat (KK): Pakar politik
berdiskusi.
· Subjek (KB)
+ Predikat (KK) + Objek (KB): Mahasiswa
mengikuti ujian.
· Subjek (KB)
+ Predikat (KK) + Objek (KB) + Pelengkap (KB): Dosen membawakan saya buku bahasa Indonesia.
· Subjek (KB)
+ Predikat (KS): Harga kertas mahal.
· Subjek (KB)
+ Predikat (K. Bil): Komputernya dua
buah.
· Subjek (KB)
+ Predikat (KB): Temanku guru SMU 1.
Untuk menciptakan beragam kalimat tunggal, enam
pola dasar di atas dapat diperluas unsur-unsurnya.
· Pola 1
adalah pola kalimat yang hanya mengandung unsur subjek nomina dan unsur
predikat verba. Contoh : Kami berjuang
· Pola 2
adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina, berpredikat verba, dan
berobjekkan nomina. Contoh: Kami
mencairkan dana.
· Pola 3
adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina, berpredikat verba, berobjek
nomina, dan berpelengkap nomina. Contoh: Surat
kabar memberikan saya kepintaran.
· Pola 4
adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina dan yang berpredikat adjektiva.
Contoh: Suku bunga bank sangat tinggi.
· Pola 5
adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina dan yang berpredikat numeralia.
Contoh: Panjang mobil itu empat meter.
· Pola 6
adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina dan yang berpredikatkan nomina.
Contoh: Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia itu seorang peneliti.
b. Perluasan
Kalimat Tunggal
Keenam pola kalimat dasar itu dapat dapat
diperluas dengan unsur keterangan.
· Keterangan
tempat, seperti di sini, ke Solo, dan
sekitar kota.
· Keterangan
waktu, seperti setiap tahun, pada pukul
14.00 WIB, dan minggu ketiga.
· Keterangan
alat, seperti dengan pensil, dengan
keris, dan dengan kertas tebal.
· Keterangan
modalitas, seperti harus, barangkali,
mungkin, sering, sepatutnya.
· Keterangan
aspek, seperti akan, sedang, sudah,
belum, telah, dan mau.
· Keterangan
cara, seperti dengan berhati-hati,
seenaknya saja, selekas mungkin, secara sepihak, dan dengan tergesa-gesa.
· Keterangan
sebab, seperti sebab, karena, lantaran.
· Keterangan
tujuan, seperti untuk, demi, guna,
supaya, agar, demi, ke.
· Keterangan
akibat, seperti akibatnya, akhirnya,
sehingga, maka.
· Keterangan
pewatas, seperti yang luka, yang
berdemonstrasi, yang pendek, dan yang
peneliti.
· Keterangan
tambahan (aposisi), sepperti Kak Adi pada
kalimat Penulis buku cerita anak-anak,
Kak Adi, menyanyikan lagu daerah.
Setiap unsur dalam kalimat dapat diperluas
dengan mempergunakan beberapa keterangan.
Contoh: Presiden
memerhatikan kepentingan masyarakat.
Dapat diperluas menjadi: Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, memerhatikan
kepentingan masyarakat.
c. Kalimat
Majemuk
Kalimat
majemuk adalah kalimat yang terdiri atas lebih dari satu proposisi sehingga
mempunyai paling tidak dua predikat yang tidak dapat dijadikan satu kesatuan
(Hasan Alwi dkk, 2003: 40).
· Kalimat
Majemuk Setara
Kalimat
majemuk setara adalah kalimat majemuk yang terdiri atas dua kalimat tunggal
atau lebih yang digabungkan dengan kata penghubung yang menunjukkan kesetaraan,
seperti dan, atau, sedangkan, dan tetapi.
Contoh: Ayahnya
pergi dan dia pun menangis.
· Kalimat
Majemuk Bertingkat (Taksetara)
Kalimat
majemuk bertingkat terdiri atas unsur anak
kalimat dan unsur induk kalimat.
Induk kalimat merupakan inti gagasan, sedangkan anaka kalimat adalah gagasan
yang dipertalikan dengan gagasan induk kalimat.
Contoh: Apabila
ingin melihat Taman Mini Indodonesia Indah, tentu kamu harus datang ke Jakarta.
Anak kalimatnya adalah Apabila ingin meihat Taman Mini Indonesia Indah; induk kalimat
adalah kamu harus datang ke Jakarta.
· Kalimat
Majemuk Taksetara Rapatan
Kalimat
majemuk taksetara dapat juga dirapatkan jika terdapat unsur subjek sama.
Contoh: Mereka
sudah menyelesaikan tugas.
Mereka boleh mengambil tanda terima.
Kedua kalimat tunggal di atas dapat dijadikan
kalimat majemuk taksetara rapatan, karena memiliki subjek yang sama.
Karena sudah menyelesaikan tugas, mereka boleh mengambil tanda terima.
· Kalimat
Majemuk Campuran
Kalimat majemuk campuran terdiri atas kalimat
majemuk bertingkat dan kalimat majemuk setara, atau terdiri atas kalimat
majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.
Contoh: Karena
pembicaraan mengeni pemecahan atom belum rampung, kami terpaksa bekerja sampai
malam dan melakukan pembagian kerja dengan lebih baik lagi.
2. Kalimat Menurut Fungsi
a) Kalimat
Pernyataan (Deklaratif)
Kalimat
pernyataan dipakai jika penulis ingin menyatakan sesuatu dengan lengkap.
Contoh: Para peneliti memperlihatkan alur
perkembangan kehidupan ulat.
b) Kalimat Pertanyaan
(Interogatif)
Kalimat
pertanyaan dipaki jika penulis ingin memperoleh informasi atau reaksi (jawaban)
yang diharapkan.
Contoh: Di mana mereka melakukan latihan?
c) Kalimat
Perintah atau Permintaan (Imperatif)
Kalimat
perintah dipakai jika penutur ingin menyuruh atau melarang orang melakukan
(berbuat) sesuatu.
Contoh: Dilarang merokok di ruangan ini!
d) Kalimat Seruan
Kalimat
seruan dipakai jika penutur ingin mengungkapkan perasaan yang kuat atau yang
mendadak.
Contoh: Bukan
main sulitnya soal itu.
D.
SEMANTIK
A.
Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur
bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan dengan struktur makna suatu
wicara. Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman
persepsi, serta perilakumanusia atau kelompok (Kridalaksana, 2001:1993). Makna
kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Berbagai jenis
makna kata dikaji dalam ilmu semantik. Makna konotatif adalah salah satu jenis
makna yang ada dalam kajian semantik. Makna konotatif merupakan makna yang
bukan sebenarnya. Makna konotatif terdapat dalam sebuah klausa.
Pendapat lain dikemukakan oleh Chaer
(1989:60) yang menyatakan bahwa dalam semantik yang dibicarakan adalah hubungan
antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau
hal-hal yang dirujuk oleh makna itu yang berada diluar bahasa. Makna dari
sebuah kata, ungkapan atau wacana ditentukan oleh konteks yang ada.
Menurut Tarigan (1985:7) semantik
menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna
yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat.
Jadi semantik senantiasa berhubungan dengan makna yang dipakai oleh masyarakat
penuturnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa semantik adalah ilmu yang menelaah lambang-lambang
atau tanda-tanda yang menyatakan makna,
hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta hubungan antara kata dengan
konsep atau makna dari kata tersebut.
B.
Pengertian Makna
Makna kata merupakan bidang kajian
yang dibahas dalam ilmu semantik. Semantik berkedudukan sebagai salah satu
cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna suatu kata dalam bahasa,
sedangkan linguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa lisan dan tulisan yang
memiliki ciri-ciri sistematik, rasional, empiris sebagai pemerian struktur dan
aturan-aturan bahasa (Nurhayati, 2009:3). Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa makna suatu kata dalam bahasa dapat diketahui dengan landasan
ilmu semantik.
Hornby (dalam Pateda, 1989:45)
berpendapat bahwa makna ialah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud. Poerwadarminta (dalam Pateda, 1989:45) mengatakan
makna : arti atau maksud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Pateda,
2001:82) kata makna diartikan : (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang
terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian
yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna ialah hubungan antara
bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa
sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin, 1988:53). Dari batasan pengertian
itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni
(1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan
hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan 9 makna
itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
Menurut pendapat Fatimah (1993:5)
makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri
(terutama kata-kata). Menurut Palmer (dalamFatimah, 1993:5) makna hanya
menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyons (dalam Fatimah,
1993:5) menyebutkan bahwa mengkaji makna atau memberikan makna suatu kata ialah
memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna
yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Harimurti (2008:148)
berpendapat makna (meaning, linguistic meaning,sense) yaitu: (1) maksud
pembicara, (2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku
manusia atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam arti kesepadanan atau
ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan
semua hal yang ditunjuknya, (4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa. Dari
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna merupakan arti dari
suatu kata atau maksud pembicara yang membuat kata tersebut berbeda dengan
kata-kata lain.
C.
Jenis-jenis Makna
Makna suatu kata merupakan bahan
yang dikaji dalam ilmu semantik. Makna kata terbagi menjadi beberapa jenis.
Seperti yang dikemukakan oleh Palmer (dalam Pateda, 2001:96) jenis makna
terdiri dari: (i) makna kognitif (cognitive meaning), (ii) makna
ideasional (ideational meaning), (iii) makna denotasi (denotasional
meaning), (iv) makna proposisi (propositional meaning), sedangkan
Shipley (dalam Pateda, 2001:96) berpendapat bahwa makna mempunyai jenis: (i)
makna emotif(emotif meaning), (ii) makna kognitif (cognitive meaning)
atau makna deskriptif(descriptive meaning), (iii) makna referensial (referential
meaning), (iv) makna pictorial (pictorial meaning), (v) makna kamus
(dictionary meaning), (vi) makna samping (fringe meaning), dan
(vii) makna inti (core meaning). Leech (dalam Chaer,1989:61) membedakan
adanya tujuh tipe makna, yaitu (1) makna konseptual, (2)makna konotatif, (3)
makna stilistika, (4) makna afektif, (5) makna refleksi, (6) makna kolokatif,
(7) makna tematik.
Pendapat lain dikemukakan oleh Chaer
(1989:61), yang membedakan jenis makna menjadi beberapa kriteria sebagai
berikut.
Berdasarkan
jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal,
berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya
makna referensial dan makna nonreferesial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa
pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotative dan makna
konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna
istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteria lain atau
sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiasif, kolokatif,
reflektif, idiomatik, dan sebagainya.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis makna memang
sangat beragam. Keberagaman makna tampak dari masing-masing pendapat.
Pateda (2001:97) membagi jenis-jenis
makna menjadi dua puluh sembilan yaitu makna afektif merupakan makna
yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau
kalimat, makna deskriptif (descriptive meaning) yang biasa
disebut pula makna kognitif (cognitive meaning) atau makna referensial
(referential meaning) adalah makna yang terkandung di dalam setiap kata, makna
ekstensi adalah makna yang mencakup semua ciri objek atau konsep (Kridalaksana,
2008:148), makna emotif adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi
pembicara atau sikap pembicara mengenai terhadap apa yang dipikirkan atau dirasakan,
makna gereflekter yaitu makna kata yang sering berhubungan dengan kata atau
ungkapan tabu, makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya
kata dalam kalimat, makna ideasional adalah makna yang muncul akibat
penggunaan kata yang memiliki konsep, makna intensi adalah makna yang menekankan
maksud pembicara, makna khusus adalah makna kata atau istilah yang pemakaiannya
terbatas pada bidang tertentu, makna kiasan adalah pemakaian kata yang
maknanya tidak sebenarnya, makna kognitif adalah makna yang ditunjukan
oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia
luar bahasa, objek atau gagasan, dan
dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya.
Makna selanjutnya adalah makna
kolokasi biasanya berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam
lingkungan yang sama, makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsepnya, makna konstruksi adalah makna yang terdapat di dalam suatu
konstruksi kebahasaan, makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan
antara ujaran dan konteks, makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu
berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau berimbuhan yang maknanya kurang
lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu, makna
lokusi, makna luas menunjukan bahwa makna yang terkandung pada
sebuah kata lebih luas dari yang dipertimbangkan, makna pictorial adalah
makna yang muncul akibat bayangan pendengar atau pembaca terhadap kata yang
didengar atau dibaca, makna proposisional adalah makna yang muncul
apabila seseorang membatasi pengertiannya tentang sesuatu, makna pusat adalah
makna yang dimiliki setiap kata meskipun kata tersebut tidak berada di dalam
konteks kalimat, makna referensial adalah makna yang langsung
berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata, makna sempit merupakan
makna yang berwujud sempit pada keseluruhan ujaran, makna stilistika adalah
makna yang timbul akibat pemakaian bahasa, makna tekstual adalah makna
yang timbul setelah seseorang membaca teks secara keseluruhan, makna tematis
akan dipahami setelah dikomunikasikan oleh pembicara atau penulis melalui
urutan kata-kata, makna umum adalah makna yang menyangkut keseluruhan atau
semuanya, tidak menyangkut yang khusus atau tertentu, makna denotatif adalah
makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara suatu bahasa
dan wujud di luar bahasa yang diterapi satuan bahasa itu secara tepat, dan makna
konotatif adalah makna yang muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai
bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca.
D.
Makna Konotatif
Menurut Keraf (1994:29) makna
konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung
nilai-nilai emosional. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif sebagian
terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju,
senang atau tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar, dipihak lain
kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan
yang sama. Makna konotatif sebenarnya adalah makna denotasi yang mengalami
penambahan. Hal ini sependapat dengan pengertian konotasi dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008:725) yakni konotasi adalah tautan pikiran yang
menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata,
makna yang ditambahkan pada makna denotasi.
Aminuddin (2001:88) berpendapat
makna konotatif adalah makna kata yang telah mengalami penambahan terhadap
makna dasarnya. Makna konotatif disebut juga dengan makna tambahan. Makna konotatif
muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang
didengar atau dibaca.
Zgusta
(dalam Aminuddin, 2001:112) berpendapat makna konotatif adalah makna semua
komponen pada kata ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi
menandai.
Harimurti (dalam Aminuddin,
2001:112) berpendapat aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan
atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara
(penulis) dan pendengar (pembaca). Sebuah kata disebut mempunyai makna
konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif.
Jika tidak memiliki rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
Tetapi dapat juga disebut berkonotasi
netral (Chaer, 1995:65). Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna denotasi
yang sama dapat menjadi berbeda makna keseluruhannya akibat pandangan
masyarakat berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma budaya yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Misalnya dalam bahasa Jawa, kata abdinipun, pembantu,
pekathik, dan batur mempunyai makna denotasi yang sama, tetapi kedua
kata tersebut mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata abdinipun mempunyai
nilai rasa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kata pembantu, pekathik,
dan batur. Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai
bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca (Pateda, 2001:112).
Positif dan negatifnya nilai rasa
sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata
itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan
sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa yang positif, dan
jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa
negatif. Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik
Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang
bernilai rasa negatif seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal
binatang buaya itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia
menjadikan mereka lambang yang tidak baik. Makna konotatif adalah makna yang
bukan sebenarnya. Misalnya, kata
amplop
dalam kalimat “diwenehi amplop wae ben urusanmu
ndang rampung”, maka kata amplop bermakna konotatif, yang mengandung arti berilah
ia uang. Kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena uang
dapat saja diisi di dalam amplop.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan makna konotatif adalah makna yang
tidak sebenarnya, makna yang telah mengalami penambahan pada makna dasarnya,
yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun
negatif. Makna konotatif atau konotasi kata mengacu pada makna kias atau makna
bukan sebenarnya. makna konotatif mengandung imajinasi, nilai rasa, dan
dimaksudkan
untuk menggugah rasa.
Pada antologi cerkak majalah Djaka
Lodang edisi bulan Mei-Juli 2009, terdapat kata-kata yang mempunyai nilai
rasa tertentu. Nilai rasa atau konotasi yang terdapat dalam antologi cerkak majalah
Djaka Lodang edisi bulan Mei-Juli 2009 tergantung pada konteks kalimat,
baik konotasi positif maupun konotasi negatif. Menurut pendapat Tarigan
(1985:60) ragam konotasi dibagi menjadi dua macam, yaitu konotasi baik dan
konotasi tidak baik.
a).
Konotasi baik
Kata-kata
yang mempunyai konotasi baik dan oleh sebagian masyarakat dianggap memiliki
nilai rasa yang lebih enak, sopan, akrab, dan tinggi. Konotasi baik dibagi
menjadi dua macam, yaitu 1) konotasi tinggi, dan 2) konotasi ramah.
1.
Konotasi Tinggi
Konotasi
tinggi yaitu kata-kata sastra dan kata-kata klasik yang lebih indah dan anggun
terdengar oleh telinga umum. Kata-kata seperti itu mendapat konotasi atau nilai
rasa tinggi. Kata-kata klasik yang apabila orang mengetahui maknanya dan menggunakan
pada konteks yang tepat maka akan mempunyai nilai rasa yang tinggi.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi
tinggi
pada sebuah kata adalah sebagai berikut:
a.
kata-katanya klasik
b.
kata-kata yang menimbulkan rasa segan
2.
Konotasi Ramah
Konotasi
ramah yaitu kata-kata yang berasal dari dialek atau bahasa daerah karena dapat
memberikan kesan lebih akrab, dapat saling merasakan satu sama lain, tanpa ada
rasa canggung dalam bergaul. Kosa kata seperti ini merupakan kosa kata yang
memiliki konotasi ramah.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi ramah pada
sebuah kata adalah sebagai barikut:
a.
kata-kata berasal dari dialek
b.
kata-katanya tidak menimbulkan rasa canggung dalam bergaul.
b).
Konotasi tidak baik
Konotasi
tidak baik berarti kata-kata yang oleh sebagian masyarakat dianggap memiliki
nilai rasa tidak sopan, tidak pantas, kasar, dan dapat menyinggung perasaan orang
lain. Kata-kata ini biasanya mempunyai konotasi tidak baik. Konotasi tidak baik
dibagi menjadi lima macam, antara lain 1) konotasi berbahaya, 2) konotasi tidak
pantas, 3) konotasi tidak enak, 4) konotasi kasar, 5) konotasi keras.
1.
Konotasi Berbahaya
Konotasi
berbahaya yaitu kata-kata yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat
kepada hal-hal yang sifatnya magis. Pada saat tertentu dalam kehidupan masyarakat,
kita harus hati-hati mengucapkan suatu kata agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, hal-hal yang mungkin mendatangkan bahaya. Pada kondisi tertentu
penutur dilarang menuturkan kata-kata yang dianggap tabu di sembarang tempat.
Misalnya, jika si penutur sedang berada ditengah hutan, maka secara tidak langsung
dia telah diikat dengan aturan-aturan dalam bicara dan mengeluarkan kata-kata. Kata-kata
yang tidak enak seperti, hantu, harimau, dan kata-kata kotor atau juga kata-kata
yang menyombongkan diri dan takabur dilarang diucapkan dalam kondisi ini,
karena jika aturan itu dilanggar dipercaya akan ada balasan yang setimpal bagi yang
mengatakannya saat itu juga.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi berbahaya pada
sebuah kata adalah sebagai berikut:
a.
Kata-katanya bersifat magis
b.
Kata-kata yang dianggap tabu
2.
Konotasi Tidak Pantas
Konotasi tidak pantas yaitu
kata-kata yang diucapkan tidak pada tempatnya dan mendapat nilai rasa tidak
pantas, sebab jika diucapkan kepada orang lain maka orang lain tersebut akan
merasa malu, merasa diejek, dan dicela.
Di samping itu, si pembicara oleh masyarakat atau keluarganya dicap sebagai
orang yang tidak sopan. Pemakaian atau pengucapan kata-kata yang berkonotasi
tidak pantas ini dapat menyinggung perasaan, terlebih-lebih orang yang
mengucapkannya lebih rendah martabatnya dari pada lawan bicara atau obyek
pembicaraan itu.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat diketahui indikator konotasi tidak pantas pada sebuah
kata adalah sebagai berikut:
a.
Kata-katanya dapat menyinggung perasaan orang lain
b.
Kata-kata yang diucapkan tidak pada tempatnya.
3.
Konotasi Tidak Enak
Konotasi tidak enak yaitu salah satu
jenis konotasi atau nilai rasa tidak baik yang berkaitan erat dengan hubungan
sosial dalam masyarakat. Ada sejumlah kata yang karena biasa dipakai dalam
hubungan yang tidak atau kurang baik, maka tidak enak didengar oleh telinga dan
mendapat nilai rasa tidak enak. Oleh karena itu, kata atau ungkapan tersebut
dihindari untuk menjaga hubungan tetap harmonis dan juga untuk menghindari
hubungan yang semakin retak. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui
indikator konotasi tidak enak pada sebuah kata adalah kata-kata yang tidak enak
didengar oleh telinga.
4.
Konotasi Kasar
Konotasi
kasar yaitu kata-kata yang terdengar kasar dan mendapat nilai rasa kasar.
Kata-kata kasar dianggap kurang sopan apabila digunakan dalam pembicaraan dengan
orang yang disegani. Konotasi kasar biasanya juga dipergunakan oleh penutur yang
sedang memiliki tingkat emosional yang tinggi. Akibat tingkat emosional yang tinggi
tersebut, seorang penutur cenderung mengeluarkan kata-kata yang kasar.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat diketahui bahwa indikator konotasi
kasar
pada sebuah kata adalah sebagai berikut:
a.
Kata-katanya kasar
b.
Digunakan oleh penutur yang sedang marah dan mempunyai tingkat emosi yang
tinggi.
5.
Konotasi Keras
Konotasi
keras yaitu kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang mengandung suatu pernyataan
yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Ditinjau dari segi arti,
maka kata ini dapat disebut hiperbola, sedangkan dari segi nilai rasa atau
konotasi dapat disebut konotasi keras. Untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak masuk
akal, dapat digunakan kiasan atau perbandingan-perbandingan. Pada umumnya,
setiap anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari berusahanmengendalikan
diri. Akan tetapi, untuk menonjolkan diri, orang seringkali tidak dapat mengendalikan
diri dan cenderung menggunakan kata-kata yang bersifat mengeraskan makna.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi keras pada
sebuah kata adalah sebagai berikut:
a.
Kata-katanya berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal atau hiperbola
b.
Kata-katanya bersifat mengeraskan makna.
Makna konotasi dalam sebuah cerkak
dapat menambah efek keindahan. Ketepatan dan kesesuaian kata yang digunakan
pengarang dalam membuat cerkak dapat menimbulkan kesan hidup dan
membangkitkan imajinasi. Penggunaan makna konotasi mampu menghasilkan imaji
tambahan sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan cerkak lebih
indah dan nikmat untuk dibaca. Digunakannya kata-kata yang bermakna konotasi
selain memperindah juga akan memperkaya dan menyalurkan makna dengan baik.
Makna konotasi bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari
makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai rasa tertentu
(Alwasilah, 1985:147). Makna konotasi sangat bergantung pada konteksnya.
Bertolak dari beberapa pendapat di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna konotatif adalah makna yang telah
mengalami penambahan pada makna dasarnya, yakni hanya tambahan yang sifatnya
memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
PENUTUP
Simpulan
Setiap ilmu
biasanya dibagi menjadi bidang-bidang bawahan atau cabang-cabang berkenaan
dengan adanya hubungan disiplin itu dengan masalah lain . Demikian pula dengan
linguistik , karena mengingat objek linguistik adalah bahasa yang merupakan
fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia . Maka sub disiplin
linguistik juga sangat banyak . Antara lain :
1. Berdasarkan objek kajiannya adalah bahasa
pada umumnya atau bahasa tertentu dibagi menjadi 2 , yaitu : (1) linguistik
umum : linguistik yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa secara umum,
pernyataan-pernyataan yang dihasilkan akan menyangkut bahasa pada umumnya; dan
(2) linguistik khusus : linguistik yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa
tertentu.
2. Berdasarkan objek kajiannya bahasa pada masa
tertentu atau bahasa sepanjang masa . dibedakan menjadi 2 , yaitu;a. linguistik
sinkronik dan linguistik diakronik.
3. Berdasarkan objek kajiannya apakah struktur
internal bahasa atau bahasa itu dalam hubungannya dengan faktor diluar bahasa .
Linguistik mikro : linguistik yang mengarahkan kajiannya pada struktur
internal bahasa pada umumnya . Linguistik mikro dibagi lagi menjadi sub
disiplin linguistik fonologi ( mempelajari ciri-ciri bunyi bahasa ) ,
linguistik morfologi ( mempelajari struktur kata , bagian , serta cara
pembentukannya ), linguistik sintaksis ( mempelajari satuan kata , satuan lain
diatas kata , hubungan satu dengan yang lain , dan cara penyusunannya sehingga
menjadi sebuah ujaran ), linguistik semantik ( mempelajari makna yang bersifat
leksikal , gramatikal , dan kontekstual ), linguistik leksikologi ( mempelajari
kosa kata suatu bahasa).
Simpulan kajian ilmiah
1. Fonologi
Fonetik merupakan kajian mengenai bunyi bahasa.
Berdasarkan proses terjadinya, fonetik dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu; (1) Fonetik akustis yaitu mempelajari bunyi bahasa yang berupa getaran udara dan
mengkaji tentang frekuensi getaran bunyi, amplitudo, intensitas dan timbrenya; (2) Fonetik auditoris yaitu mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi
sebagai hasil dari udara yang bergetar; (3) Fonetik artikulatoris adalah
fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat ucap manusia
menghasilkan bunyi bahasa serta pengklasifikasian bahasa berdasarkan
artikulasinya.
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya
satuan memiliki fungsi untuk
membedakan makna. Sedangkan, fonemisasi
adalah usaha untuk menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan
makna tersebut.
2.
Morfologi
Proses morfologis meliputi (1)
afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4) suplisi, dan (3)
modifikasi kosong (Samsuri, 190—193). Namun, di dalam bahasa Indonesia yang
bersifat aglutinasi ini tidak ditemukan data proses morfologis yang berupa
perubahan intern, suplisi, dan modifikasi kosong. Jadi, proses morfologis dalam
bahasa Indonesia hanya melalui afiksasi dan reduplikasi.
3. Sintaksis
Morfologi ialah bagian dari
ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata
serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata,
atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk
bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata iti, baik fungsi
gramatik maupun fungsi semantic.
4. Semantik
Menurut Chomsky pada bukunya
yang kedua (1965) menyatakan bahwa semantik adalah merupakan salah satu
komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi) dan
makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
DAFTAR PUSTAKA
Albin, Rochelle Semmel. 1986. Emosi, Bagaimana Mengenal, Menerima dan
Mengarahkannya. Yogyakarta: Kanisius.
Alwi, Hasan.1998. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Chaer, Abdul.1994. Linguistik Umum. Jakarta
: Penerbit Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Djajasudarma, T Fatimah.1993. Metode
Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco .
Doi, T. 1988. The Anatomy of Self. Tokyo :
Kodansha.
Foley, W.A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.Oxford:
Blackwell.
Kridalaksana, Harimurti.1989 Pembentukan Kata
dalam Bahasa Indonesia.Jakarta : Gramedia.
Rakhmat. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Lapoliwa, Hans 1990. Klausa Pemerlengkapan dalam Bahasa Indonesia: Suatu Tinjauan Sintaktik dan Semantik.
Yogyakarta: Kanisius.
Lyons, John. Pengantar Teori Lingustik. Diterjemahkan
oleh I. Soetikno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Marat, Samsuniwiyati. 2005. Psikolingusitik
Suatu Pengantar. Bandung : Refika Aditama.
Mizutani, O. dan Mizutani, N. 1987. How to be Polite in Japanese. Tokyo :
Japan Times.
Nababan. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Parera, J.D. 2009. Dasar-dasar Analisis Sintaksis. Jakarta:
Erlangga.
Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende Flores:
Nusa Indah.
Ramlan, M.1980. Morfologi : Suatu Tujuan
deskriptif . Yogyakarta CV Karyono
Ricoeur, Paul. 1978. Main Trends in Philosophy. New York: Holmes and
Meler Publishers.
Romaine, Suzanne. 1995.
Bilingualism. Blackwell Cambridge.
Sears, David O dkk. 1992. Psikologi Sosial.Jakarta: Erlangga.
Sukini. 2010. Sintaksis: Sebuah Panduan Praktis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Syah, Muhibin. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Tadkirotun ,Musfiroh. 2002. Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta:
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Vreeland, N. (et al.). 1977.
Area Handbook for Malaysia. Edisi ke-3. Glen Rock NJ : Microfilming
Widjono Hs. 2008. Bahasa Indonesia:
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT
Grasindo
Yudibrata, dkk. 1998. Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP
Setara D-III.

bagus tulisannya
BalasHapus